penyakit warga dan pengobatannya

Kudis (mange)

Kudis pada kelinci umumnya disebabkan oleh tungau Psoroptes cuniculi, Chorioptes
cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei, juga kutu Haemodipsus ventricosus.
Berdasarkan lokasi, penyebab, dan tanda-tanda klinis dibedakan:

Kudis pada liang telinga

Penyebabnya adalah tungau Psoroptes cuniculi dan atau Chorioptes cuniculi (SMITH
dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; MANURUNG et al., 1986; ISKANDAR et al., 1989). Tungau
ini memulai serangannya di dasar rambut liang telinga, parasit mengisap cairan kulit,
membentuk lepuh-lepuh berisi cairan yang apabila pecah menimbulkan kegatalan. Dengan tanda-tanda klinis kelinci selalu menggoyanggoyangkan kepala, menggaruk-garuk daun
telinga mengakibatkan lepuh akan pecah, sering disertai infeksi sekunder lama kelamaan timbul keropeng-keropeng hal ini dapat menyumbat liang telinga bila dibiarkan akan menimbulkan meningitis ditandai dengan kepala berputar (torticolis), gerak-gerakannya tidak terkontrol (ataxia) dan akhirnya mati. Penyakit ini dilaporkan MANURUNG et al. (1986) tetapi mendapat infeksi campuran
dengan Notoedres cati di Bogor.

Kudis kulit

Tungau ini mulai menyerang sekitar mata, pipi, hidung, kepala, jari kaki kemudian meluas ke seluruh permukaan tubuh. Penyebabnya Sarcoptes scabiei dan Notoedres cati juga kutu Haemodipsus ventricosus (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; MANURUNG et al.,
1986; ISKANDAR et al., 1989). Pada infestasi S. scabiei dan N. cati memperlihatkan gejala: kelinci menggaruk-garuk terus sehingga bulu muka, kepala, pangkal telinga, sekeliling mata dan kaki rontok. Pada infestasi berat, kulit disekeliling telinga dan hidung dapat berubah bentuk. Tungau ini cepat menyebar ke seluruh koloni kelinci. S. scabiei dapat menginfestasi ke manusia karena bersifat zoonosis, jika
menyerang sudut mulut kelinci maka kelinci sulit makan sehingga menimbulkan kematian.
Penyakit ini menyerang kelinci di Lombok (ANONIMOUS, 1993). Sedangkan ISKANDAR et
al. (1989) melaporkan skabies di Sumedang (Jawa Barat).

Diagnosis dan pemeriksaan laboratorik

Dasar diagnosis kudis adalah gejala klinis seperti gatal-gatal seperti yang diuraikan di atas. Cara diagnosa kudis pada gambaran gejala klinik dalam prakteknya sulit ditetapkan karena berbagai penyakit kulit lainnya memberikan gambaran klinis yang mirip dengan kudis (SUNGKAR, 1991). Diagnosis infestasi kutu dibuat dengan
identifikasi kutu pada kelinci. Tungau dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis dengan kerokan kulit kemudian diletakkan di gelas obyek dan dijernihkan dengan larutan KOH 5−10%, kemudian ditutup dengan kaca tutup, selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop (ISKANDAR, 1982; ISKANDAR et al., 1984; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988).Membuat tes tinta terowongan dengan cara menggosok papula yang terdapat pada kulit menggunakan ujung pena yang mengandung tinta. Etelah papula tertutup oleh tinta dan didiamkan selama 20−30 menit, tinta kemudian diusap/diharus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes ini dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis-garis zig-zag (HOEDOJO, 1989; ISKANDAR, 2000).

Pengobatan dan pengendalian kudis

Peninggalan sejarah menunjukkan bahwa kudis dan cara pengobatannya telah dikenal
sejak kira-kira tiga ribu tahun yang lalu (RONCALL, 1987). Penyakit kudis pada kelinci dapat disembuhkan dengan Neguvon 0,15% dan Asuntol 0,05–0,2% (MANURUNG et al., 1986). Salep Asuntol 0,1% dapat menyembuhkan scabies pada kelinci (ISKANDAR et al., 1989). Kelinci yang kena infestasi tungau harus diasingkan dan diobati campuran belerang dengan kapur 5 berbanding 3 atau Pirantel pamoat (Canex) dicampur
vaselin (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Bisa diobati Ivermectin dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan diberikan sub kutan dengan selang waktu 7 hari. Kudis pada liang telinga dibersihkan dengan H2O2 3%, eropengkeropeng dibuang, tetesi dengan tetes telinga yang dicampur antibiotik dan fungisida (ISKANDAR et al., 1989). Dalam melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kudis perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan kelinci, karantina, dan pengobatan. Pola dan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan kurang benar memungkinkan berlangsungnya siklus hidup
tungau (S. scabiei) dengan baik. Sanitasi termasuk kualitas penyediaan air yang kurang dan ternak yang terlalu padat perlu dihindari (SARDJONO et al., 1997). Pemindahan hewan dari satu tempat ke tempat lain perlu
penanganan yang serius. Perlu diperhatikan Surat Keputusan Menteri Pertanian no.
422/kpts/LB-720/6/1988 yaitu peraturan karantina tentang penyakit kudis yang
menyatakan bahwa penyakit kudis, skabies, mange dan demodekosis termasuk penyakit
golongan 2 nomor 51. Hewan yang peka adalah ruminansia, kuda, babi, dan kelinci
dengan masa inkubasi 14 hari, lama hewan di karantina 14–30 hari. Setiap hewan tersangka skabies harus diisolasi dan diobati. Jika ada hewan terkena skabies, sebelum memulai terapi sebaiknya peternak diberi penjelasan yang lengkap mengenai penyakit dan cara pengobatannya, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi. Mengingat masa inkubasi yang lama, maka semua ternak kelinci yang berkontak dengan hewan penderita perlu diobati meskipun tidak ada gejala klinis atau hewan penderita diisolasi. Hewan penderita yang berada di tengah keluarga sulit untuk diisolasi. Pakaian yang dicurigai harus dicuci dengan air panas atau disetrika, alat rumah tangga dan kandang juga harus dibersihkan, meskipun tungau tidak lama bertahan hidup di luar kulit hewan maupun manusia (HAGEN, 1982; HARTADI, 1988; SUNGKAR, 1991; SOEDARTO, 1994; ISKANDAR, 2000). Penyakit ini sering dikacaukan dengan Ringworms dan
Pavus.

Koksidiosis

Pada kelinci terdapat dua bentuk koksidiosis yaitu bentuk hati disebabkan oleh Eimeria stidae dan bentuk usus disebabkan oleh E. magna, E. media, E. irresidua atau E. perforans. Eimeria spp lain jarang ditemukan di usus kelinci (HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; ISKANDAR, 2001). Hewan yang sudah sembuh dari penyakit ini
sering menjadi karier. Berbagai bentuk koksidiosis tersebut tidak selalu menimbulkan gejala mencret. Penyakit bisa tanpa memperlihatkan gejala, atau kematian dapat terjadi hanya sesudah beberapa hari setelah infestasi. Kelinci muda lebih sering
terjadi terkena oleh koksidiosis bentuk hati dengan gejala-gejala berupa mencret, nafsu makan hilang, dan bulu kasar. Kelinci tidak tumbuh normal, badan kurus dan tidak tampak sehat. Pada bentuk usus, gejala biasanya tumbuh lambat, nafsu makan hilang dan perut kelihatan buncit. Siklus hidup Eimeria bisa dilihat pada Gambar 1.
Diagnosis dapat dibuat dengan identifikasi ookista pada pemeriksaan tinja atau dengan pemeriksaan histopatologi usus dan hati. Pada pemeriksaan pascamati. Lesi koksidiosis disebabkan oleh E. stiedae menunjukkan bintik-bintik putih atau kista di hati seperti pada Gambar 2. Pada kasus akut, lesi ini mempunyai tepi jelas tetapi kemudian lesi akan bergabung satu sama lain pada kasus kronis. Pada pemeriksaan
histopatologik bintik-bintik tersebut tampak hiperplasia saluran empedu dan banyak
ditemukan ookista. Lesi pada bentuk usus bervariasi, kasus akut jarang memperlihatkan
lesi, sedang kasus kronis tampak usus menebal dan pucat. Koksidiosis dapat ikendalikan dengan pengelolaan koloni hewan yang baik dan mengobati kelinci dengan ,05% Sulfakuinoksalin dalam air minum selama 30 hari. Bisa juga Amprolium 30–250 mg/kg pakan. Nitrofurason dapat dipakai dengan dosis 0,5–2,0 g/kg berat badan untuk pengobatan, atau 0,5–1,0 g/kg untuk pencegahan koksidiosis usus (HARKNESS dan WAGNER, 1983). Eimeria sp ini tidak dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini dapat dikacaukan dengan Enteritis, Diare, Bloat atau Kembung perut (Timpani).




Pasteurellosis (Haemorrhagic septicaemia)

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Nama lain adalah Bacterium leptiseptica, Bacillus leptiseptica, Pasteurella leptiseptica dan asteurella septica (HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO,1988). Penyakit ini sering ditemukan dalam koloni kelinci laboratorium dan sangat menular. Pasteurellosis dapat menyebar secara langsung jika kelinci sehat kontak dengan yang sakit atau tidak langsung yaitu kelinci sehat dipindahkan ke kandang penderita tanpa di sterilisasi. Pada kelinci sering menimbulkan kekebalan ringan sesudah kelinci terinfeksi.
Beberapa hewan dapat menjadi karier meskipun tampak sehat, dan mungkin hewan ini menjadi sumber infeksi dalam koloni kelinci. Penyakit ini biasanya bersifat kronik
dengan gejala ke luar eksudat encer atau nanah dari hidung dan mata. Bulu kaki depan
terutama di sekeliling kuku tampak kusut dan banyak eksudat kering. Kadang-kadang disertai pneumonia, pyometra, orchitis, otitis media, conjunctivitis, subcutaneus abces dan septicemia (HAGAN, 1976; HARKNESS dan WAGNER, 1983). Kelinci yang sakit biasanya bersin dan batuk bisa diakhiri dengan kematian. Dalam bentuk akut, kelinci sakit tiba-tiba mati. Jika kelinci sembuh bisa sebagai karier.

Diagnosis penyakit

Penyakit ini dapat diagnosis dengan isolasi dan identifikasi bakteri dari paru-paru kelinci sakit (HAGAN, 1976; HARKNESS dan WAGNER, 1983). Jika diadakan pemeriksaan pascamati, ditemukan radang akut sampai kronik di selaput lendir saluran pernapasan dan paruparu. Biasanya lesi disertai rinitis, sinusitis, otitis, meningitis dan bronkhopneumonia. Abses dapat ditemukan di tubuh kelinci terutama di kepala. Dalam keadaan akut terjadi septisemia biasanya kelinci mati dalam waktu 48 jam. Pemeriksaan pascamati pada bentuk akut tampak kongesti pembuluh darah sistim
pernapasan, trakeaitis, kelenjar pertahanan membesar dan perdarahan di bawah kulit.
Hewan yang terinfeksi P. multocida sebaiknya dibinasakan biasanya diobati tidak akan
berhasil. Seluruh kandang dan kamar kelinci juga peralatannya harus disterilkan.
Penyakit ini bisa menular ke manusia, tetapi sangat menular ke kelinci lain dan hewan
percobaan lain.

Mucoid enteritis (ME)

Penyakit ini menimbulkan radang usus dengan mortalitas yang tinggi terutama
menyerang kelinci umur 7–10 minggu. Penyebabnya belum bisa dipastikan (HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Beberapa bakteri bisa diisolasi dari kelinci penderita yaitu Coliform bacilli dan anaerobic bacteria, juga virus dan koksidia.
Gejala-gejala ME adalah napsu makan hilang, polidipsia (banyak minum) dan suhu
badan di bawah normal (37–38°C). Kelinci kelihatan depresi dengan sikap merangkakrangkak dan bulu kasar, mencret, kurus, lambung menggembung, usus kecil dan usus besar menggembung isinya gas dan cairan usus. Kulit disekitar anus kotor dengan lendir atau tunja kuning dan cair. Pada pemeriksaan pascamati, tidak
ditemukan lesi yang jelas. Lambung dan usus biasanya banyak ditemukan gas dan cairan,
juga bisa isi sekum gas dan kering, kolon berisi lendir yng kental dan jernih, katong empedu membesar. Pemeriksaan histopatologis pada usus kecil banyak ditemukan hiperplasia sel goblet.

Diagnosis penyakit ME

Dengan melihat gejala klinis yaitu dehidrasi, mencret berlendir, perut kembung
dan pemeriksaan pascamati. Penyaki ini pernah menyerang kelinci pada kandang hewan coba di Balai Penelitian Veteriner Bogor (ISKANDAR et al., 1989). Tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit ME Dapat dicoba dengan antibiotik
agar tidak terjadi infeksi bakteri, juga diberi rumput kering dalam ransum yang bergizi. Penyakit ini tidak menular ke manusia.

Penyakit Tyzzer

Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus piliformis. Penyakit jarang terjadi pada koloni
kelinci, kadang-kadang dikacaukan dengan penyakit ME. Sebagai paktor disposisi timbul penyakit ini yaitu stres. Gejala penyakit yaitu diare, dehidrasi dan kematian yang cepat, biasanya dalam 24–48 jam. Morbiditas dan mortalitas yang tinggi, lebih dari 50% koloni kelinci menderita sakit dan lebih dari 90% kelinci yang sakit dapat
mati. Kelinci yang bertahan hidup tumbuhnya lambat dan nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan pascamati mukosa usus kecil dan usus besar berkaca-kaca tandanya ada
peradangan dan ditemukan perdarahan berbintik. Pada hati sering ditemukan masa
foki pucat sebesar kepala jarum pentul. Pada pemeriksaan histopatologis tampak nekrosis berat di mukosa epitel usus besar khususnya di sekum. Dengan pewarnaan khusus, yaitu Giemsa atau Periodic acid Schiff, dapat dilihat kumpulan organisme berbentuk filamen, terutama dalam sel epitel usus yang tidak berlesi. Pada hati ditemukan banyak fokal nekrotik, dan di tepi lesi dapat ditemukan kumpulan organisme dalam sel.

Diagnosis penyakit

Penyebab penyakit dapat ditemukan pada organ usus atau hati dengan cara mengisolasi
bakteri dengan cara in ovo yaitu menyuntikan ke dalam kuning telur ayam tertunas.

Pengobatan

Penyakit Tyzerr sulit untuk diobati. Kalau penyakit ini menyerang koloni kelinci, seluruh koloni kelinci harus dibinasakan dan memulai koloni baru dengan kelinci yang bebas dari penyakit ini. Koloni baru ini harus ditempatkan dalam gedung terisolasi dari koloni mencit, hewan mencit lebih mudah tertular penyakit Tyzerr. Penyakit ini tidak bersifat zoonosis (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988).

Sifilis

Penyakit ini disebabkan oleh Treponema cuniculi dan sering ditemukan dalam koloni
kelinci yang higienenya sangat jelek. Kedua jenis kelamin kelinci ini dapat terinfeksi pada saat kopulasi. Gejala klinis bulu disekitar kemaluan luar
rontok dan berbintik-bintik seperti kudisan. Kelinci sakit tidak boleh dikawinkan.
Pengobatan mengunakan antibiotik seperti penisilin 50.000 unit tiap hari sampai sembuh (10–14 hari). Kelinci yang sembuh tidak bersifat karier dan bisa dikawinkan lagi. Penyakit ini tidak menular ke manusia (WIDODO, 2005).

Mastitis (radang ambing)

Penyakit ini disebabkan Staphylococus sp, biasanya menyerang kelinci yang menyusui
terutama kelinci ras pernah terjadi kasus di Kabupaten Magelang (WIDODO, 2005).
Gejala klinis bagian putting susu membengkak dan mengeras berwarna merah muda. Bila diraba terasa panas dan keras, jika tidak diobati warna kulit sekitar putting susu
berwarna gelap kemudian pecah. Pencegahan: lingkungan kandang harus tenang jauh dari kebisingan agar induk tidak gelisah. Penyapihan jangan dilakukan mendadak dan cukup waktunya, periode sapih antara 40–45 hari. Induk yang sedang menyusui jangan dipindah tempat dari kandang saat melahirkan agar tidak stres. Penyakit ini tidak menular ke manusia.

Conjunctivitis (radang mata)

Penyakit mata ini penyebabnya Moraxella sp. Tanda-tanda penyakit yaitu mata merah dan
mengeluarkan cairan (eksudat) pernah di laporkan (ISKANDAR et al., 1989). Pengobatannya dengan pemberian Sulfathiazole 5% Opthalmia Ointment, Salep mata yang
mengandung antibiotik. Penyakit lain yang dilaporkan WIDODO (2005) di Magelang yaitu
Kecacingan karena cacing pita (Taenia pisiformis). Pengobatan bisa menggunakan Thiabendazole.

artikel ini di dapat dari TOLIBIN ISKANDAR (Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114)

Leave a Reply